Rabu, 17 Oktober 2007

MTs. Sururon Melampaui Keterbatasan



KEBERHASILAN siswa-siswa di Madrasah Tsanawiah (MTs.) Sururon yang terletak di Desa Sarimukti, Kecamatan Pasir Wangi, Kabupaten Garut, pada UN tahun ini patut diacungi jempol. Dengan kondisi sekolah yang terbatas seluruh34 siswa yang mengikuti UN tahun ini dinyatakan lulus. Padahal, di sejumlah sekolah lainnya yang kondisinya relatif lebih baik, banyak siswanya tidak lulus UN.


Prestasi Sururon mungkin tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa jika sekolah tersebut memiliki fasilitas pengajaran yang memadai.

Di Sururon, kita tidak menemukan hal itu. Sekolah tersebut tidak punya perpustakaan. Bahkan, staf pengajarnya pun belum bersertifikasi. Dari 17 staf pengajar di sana, mayoritas pengajar hanya lulusan SMP, seperti Deden, guru bahasa Inggris. Baru bulan depan Deden mengikuti ujian Paket C agar dapat memiliki ijazah SMA. Selanjutnya, Deden berencana melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka.

Uniknya, nilai UN bahasa Inggris di sekolah tersebut, di atas standar pemerintah, yakni 4,26. Bahkan sejumlah siswa mampu meraih nilai 9.

Dengan segala keterbatasan tersebut, ternyata Sururon mampu berprestasi. Meskipun sejumlah siswa diajar oleh guru yang hanya tamat SMP, Sururon bisa bersaing dengan sekolah lainnya. Bahkan pencapaian prestasinya lebih baik dibandingkan sekolah lainnya.

Padahal Sururon merupakan sekolah alternatif yang didirikan oleh komunitas setempat, yakni SPP (Serikat Petani Pasundan). Sekolah ini, sebagaimana dikatakan Boy Fidro, guru matematika, merupakan sekolah berbasis komunitas.

Selama ini sekolah-sekolah yang berbasis komunitas sering termarginalkan. Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya melalui sekolah semacam ini, upaya peningkatan kualitas pendidikan bisa dengan mudah dilakukan. Tugas pemerintah untuk mencerdaskan rakyatnya pun semakin dipermudah dengan adanya sekolah-sekolah komunitas.

Setidaknya sekolah komunitas seperti Sururon membuka kesempatan bagi semua orang termasuk masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan. Selama ini, orang yang dilahirkan miskin, mereka akan terus miskin seumur hidup karena pintu-pintu untuk mengubah kehidupan mereka telah tertutup rapat. Biaya pendidikan yang mahal umumnya telah membuat masyarakat miskin harus menerima nasib untuk hidup miskin seumur hidup. Karena itu, eksistensi sekolah komunitas memungkinkan masyarakat miskin dapat memperbaiki tingkat kehidupannya.

Sururon pun didirikan oleh masyarakat miskin setempat yang berharap kehidupan mereka bisa diubah melalui pendidikan. Keberadaan Sururon mampu mematahkan persepsi masyarakat bahwa pencapaian sekolah ditentukan oleh pengajar yang berkualifikasi tinggi.

Sururon berhasil menghilangkan persepsi itu. Setidaknya, guru yang bergelar ternyata tidak menjadi jaminan terjadinya proses pendidikan yang membebaskan. Padahal, pendidikan yang membebaskan ini, sebagaimana diakui oleh Boy Fidro dan juga Intje, pada akhirnya akan melepaskan masyarakat Sururon dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.

Sistem pengajaran di Sururon memang berbeda dengan sekolah lainnya. Siswa menjadi subjek atas dirinya. Karena itu, tidak heran para siswa di sana begitu mahir dalam mengemukakan pendapatnya.

Demikian pula, corporal punishment yang masih diterapkan di sejumlah sekolah formal, tidak akan ditemukan di sana. Para pengajar berupaya mendidik para siswanya dengan lemah lembut. Sebagai contoh, Ridwan Intje, pengajar matematika, selalu memanggil murid-muridnya dengan kata ”bageur”. Bahkan, jika ada siswa yang tidak mengerjakan tugas ataupun terlambat, para pengajar tidak pernah menunjukkan respons marah sedikitpun.


Mereka justru mengajak dialog siswanya yang melakukan kesalahan tersebut. Pendekatan tanpa kekerasan ini diyakini Kepsek MTs. Sururon, Aang berkontribusi positif terhadap pengembangan siswa di masa depan.
Pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan diyakini mampu menghilangkan proses dehumanisasi yang melanda dunia pendidikan kapitalis saat ini. Boy mengungkapkan bahwa metode pendidikan yang membebaskan seperti diterapkan di Sururon, menjadikan masyarakat miskin atau marginal lainnya mampu mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan. (Huminca/”PR”) ***

Tidak ada komentar: