Selasa, 09 Oktober 2007

Konflik Agraria, Kemiskinan, dan Lahirnya Sekolah Alternatif

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab
(Aktif di Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Lampung, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Lampung)

Pengantar
Baru-baru ini Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Lampung mengumumkan bahwasanya jumlah penduduk Provinsi Lampung yang hidup di bawah garis kemiskinan dalam kurun waktu 21 bulan meningkat sebanyak 88.100 jiwa. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin Lampung pada Juli 2005 lalu berjumlah 1.572.600 atau 21,42 persen. Namun pada Maret 2007, angka itu meningkat hingga mencapai 1.660.700 jiwa atau 22,19 persen. Propinsi Lampung kini menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera. setelah Nangroe Aceh Darussalam. Untuk tingkat nasional, Lampung menjadi provinsi termiskin kesembilan atau menempati ranking ke-25 dari 33 provinsi di Indonesia.(Lampost, 7 Agustus 2007)

Sepintas, dampak kemiskinan atas pendidikan memang tidak terlalu terlihat jelas di kota-kota. Tetapi jika kita mengalihkan pandangan ke desa-desa, akan terlihat suatu panorama ketidakadilan. Sempitnya akses pada pendidikan bermutu lebih banyak dirasakan mereka yang tinggal di pinggiran dan pedesaan. Laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Data statistik BPS Lampung tahun 2007 menyebutan bahwaannya penduduk miskin terbanyak yakni mencapai 77,96 persen terletak di pedesaan.

Di Propinsi Lampung sendiri menurut versi pemerintah terdapat 985 desa tertinggal atau 34 % dari total jumlah desa yang ada di Lampung Kondisi inilah yang membuat sebagian besar anak-anak bangsa di desa dan daerah terpencil sulit mengakses pendidikan yang bermutu. Situasi kemiskinan ditenggarai sebagai faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah dan buta aksara. Akibat mahalnya biaya pendidikan, tercatat 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah (Kompas; 6 September 2006). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tak kurang dari 15,04 juta penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun (9,07 persen) belum mampu membaca dan menulis.

Di Propinsi Lampung sendiri terdapat 382.992 anak putus sekolah yang rinciannya adalah 23.458 anak setara SD, 23.314 anak setingkat SMP dan 19.761 anak setara SMA.. Sementara angka partisipasi kasar (APK) sekolah untuk tingkat SD di Lampung mencapai 30,64 persen jauh di bawah standar APK nasional 35,87 persen ( Lampost, Sabtu, 14 Oktober 2006). Untuk buta aksata terdapat 47.172 orang dan dari 41.742 penyandang buta aksara, 28.386 orang adalah perempuan dan sisanya 13.257 adalah laki-laki (Lampost,Sabtu, 7 April 2007)
Dalam UUD 1945 dituliskan bahwa pendidikan adalah hak bagi semua warga negara, berarti setiap warga negara RI harus terdidik dan mendapatkan pendidikan yang memenuhi standar yang telah ditentukan. Pasalnya, meski dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa pemerintah wajib menanggung pembiayaan pendidikan dasar semua warga negara Indonesia tak terkecuali kaum miskin baik diperkotaan maupun pedesaaan . Namun sampai dengan hari ini anggaran pendidikan yang dijanjika sebesar 20% dari APBN dan APBD sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sampai kini tak kunjung terpenuhi.

Oleh karenanya wajar jika angka putus sekolah belum berubah secara signifikan terutama diwilayah pedesaan yang masyarakatnya masih berkutat dengan kemiskinan. Kemiskinan dan putus sekolah dianggap sebagai dua sisi dari satu mata uang. Kemiskinan yang mendera sebagian besar keluarga kurang mampu menyebabkan mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya secara optimal. Gara-gara miskin, jutaan anak usia sekolah kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan sekalipun wajib belajar telah dicanangkan oleh pemerintah lebih dari 10 tahun lalu.

Kondisi Desa Moro- Moro Register 45 Sungai Buaya TulangBawang
Desa Moro-Moro terletak di Kawasan Hutan Produksi Register 45, Sungai Buaya Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Tulang Bawang. Desa Moro-moro (belum definitif) dapat ditempuh sekitar 5 jam dalam kondisi jalan normal dari Kota Bandar Lampung, dengan menggunakan bus antar kota pada siang hari dan bus antar propinsi pada malam hari.

Moro-moro diambil bahasa Jawa yang berarti “berdatangan”, nama ini dipilih dikarenakan proses sejarah bagaiman para petani pengarap ini masuk ke kawasan Hutan Reg 45 milik Departemen Kehutanan yang dikelola oleh PT. Sylva Inhutanni Lampung dengan izin Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Menurut masyarakat saat itu , PT Silva-Inhutani sebenarnya tidak pernah memanfaatkan lahan seluas 43.100 hektar itu sesuai dengan SK peruntukan lahan. Tidak seluruh areal ditanami tanaman akasia oleh perusahaan. Perusahaan hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan untuk ditanami tanaman akasia.

Dengan berbagai “cara” para penggarap masuk ke areal tanah terlantar di kawasan Register 45 dengan tujuan yang umumnya sama, yakni demi mempertahankan kelangsungan hidup. Desa Moro-Moro terdiri dari lima dusun (Asahan, Morodewe, Moroseneng, Morodadi dan Sukamakmur) dan kini dihuni oleh 1126 Kepala keluarga. Secara umum, para penggarap yang mendiami areal Register 45 terdiri dari tiga kelompok keetnisan besar, yakni kelompok masyarakat Jawa, Bali, dan Lampung. Sebagian besar penggarap berasal dari kawasan-kawasan transmigrasi yang berada di wilayah Propinsi Lampung. Untuk mempertahankan hidup, warga menggarap lahan dengan menanam tanaman-tanaman singkong, padi lahan kering (huma) serta memelihara hewan yang semuanya ditujukan untuk kepentingan subsistensi (konsumsi).

Ancaman penggusuran yang sudah dirasakan sejak tahun 2003 namun berkat perjuangan yang gigih dari kaum tani sampai sekarang para petani masih tetap dapat bertahan dan bercocok tanam. Upaya untuk mendapatkan pengakuan sebagai wilayah setingkat desa menghadapi kendala. Pemerintah Kabupaten Tulangbawang tidak bersedia mengakui status desa di “Moro-Moro” itu karena tanah yang didiami berada di dalam areal Register 45. Masalah-masalah pengadministrasian kewarganegaraan pun tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya dari pemerintah setempat. Hampir semua warga tidak memiliki KTP. Namun uniknya, pada Pemilu 2004 lalu, semua warga didata sebagai pemilih dan diadakan tiga Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Konflik agraria yang terus-menerus terjadi mengakibatkan posisi kaum tani Indonesa semakin terjepit dalam jurang kemiskinan . Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria dengan adanya monopoli atas sumber-sumber agraria semakin hebat. Jumlah pemegang konsensi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HPU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ataupun konsensi untuk pertambangan semakin intensif dan masif. Secara aktual, proses pemberian konsensi tersebut telah banyak meminggirkan bahkan mengambil tanah-tanah rakyat baik tanah garapan (land grabbing) maupun terhadap areal pemukiman rakyat. Jika kita merujuk, hasil Sensus Pertanian (SP) 2003 yang menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003.

Sementara Di Propinsi Lampung sebuah penelitian yang dilakukan Oleh Dewan Rakyat Lampung (DRL) menunjukan bahwa di Lampung sekurang-kurangnya telah terjadi 92 kasus sengketa tanah seluas 437.002,52 hektare. Akibatnya 134.750 Kepala Keluarga (KK) petani tidak mempunyai tempat tinggal dan harus hidup secara berpindah-pindah atau nomaden. Pada tahun 2004 dari 1.561.931 jiwa penduduk miskin di Lampung, 70,23% bekerja di sektor pertanian). Dari keadaan yang dipaparkan tersebut menjelaskan bahwa krisis agraria di Propinsi Lampung, meningkat semakin tajam, luas dan dalam, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas.

Situasi konflik agraria inilah yang menyebabkan masyarakat yang berada di daerah-daerah konflik tak terkecuali di Desa Moro-moro terus berkutat dalam masalah-masalah kemiskinan. Selain miskin perasaan was-was juga berdampak proses pendidikan anak-anak kaum tani. Situasi yang acapkali berubah-ubah menyebakan perhatian terhadap soal-soal pendidikan menjadi sangatlah kurang. Sebuah desa dengan jumlah penduduk yang banyak di tanah sengketa sudah dipastikan bakal sulit mencuri perhatian birokrasi pendidikan.
Minimnya angka partisipasi sekolah didesa ini menyatakan bahwasannya tidak sampai lima persen anak-anak dari lulusan SD di Moro-Moro yang melanjutkan sekolah ke tingkat Sekolah Menengah Pertama. Alasan yang mengemuka adalah karena keterbatasan ekonomi keluarga dan soal jauhnya sekolah dari tempat tinggal mereka. Banyaknya anak putus sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP menggugah keprihatinan organisasi tentang masa depan anak-anak mereka.
Feri (14) menuturkan, untuk menjangkau SMP negeri terdekat ia harus berjalan kaki selama satu jam atau 30 menit jika memakai sepeda. Kondisi tersebut menyebabkan dirinya harus berpikir anjang jika ingin meneruskan sekolah. Belum lagi biaya untuk sekolah tidak ringan. Uang masuknya ratusan ribu rupiah, uang sekolah rata- rata Rp 25.000 per bulan,sekolah yang mesti ditanggunh meskipun katannya sudah ada Biaya Operasional Sekolah (BOS) tetap ada saja ada iuran-iuran yang ditetapkan sekolah dengan berbagai alasan. Padahal orangtuanya hanyalah seorang buruh tani yang mengandalkan kehidupan mereka dari kerja upahan yang diberikan orang lain.
Tidak adanya sekolah lanjutan pertama/ SMP di Desa Moro-Moro Register 45, Sungai Buaya Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Tulang Bawang tidak menyurutkan niat para pengurus Persatuan Petani Miskin Way Serdang (PPMSW) untuk merintis terbentuknya SMP Terbuka di tanah yang masih bersatus sengketa ini. Keberhasilan memulai membangun secara mandiri SD di tiga Dusun (Morodewe, Moroseneng dan Suamakmur) secara mandiri menebalkan keyakinan mereka bahwa mendirikan sebuah SMP Terbuka secara mandiri juga bukanlah hal yang mustahil. Pendidikan harus tetap diselenggarakan dimanapun dan dalam keadaan apapun meskipun mereka sadar bahwa tanah yang ditempati masih berstatus sengketa.

Harapan masyarakat desa Moro-moro yang kondisinya masih perlu peningkatan kesejahteraaan tentunya kedepan harus memiliki cita-cita agar sekolah dapat terjangkau, dekat, dan memenuhi kebutuhan lingkungannya. Harapan itu kemudian mulai digagas oleh warga. Sekolah alternatif yang gratis dianggap merupakan satu-satu jalan untuk meningkatkan mutu dan martabat kehidupan para petani miskin itu. Masyarakat di Kawasan Regiser 45 Sungai Buaya, memiliki kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Penyebabnya sederhana yakni biaya untuk sekolah anak yang tidak terjangkau, baik untuk biaya transportasi maupun biaya yang dibayarkan orang tua ke sekolah, dibandingkan dengan pendapatan mereka.

Membangun Sekolah Alternatif
Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori mengemukakan perlunya pendidikan untuk orang miskin yang didesain untuk mengembangkan tekad anak keluar dari belenggu kemiskinan, memahami sejarah yang membuat mereka miskin, dan mengembangkan kesadaran tentang ada cara yang baik bagi mereka untuk keluar dari kemiskinannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, pendidikan untuk kaum miskin tidak hanya sekadar mengajarkan teknis membaca dan menulis, tapi juga dengan membangun kesadaran dengan memberikan keterampilan kerja.
Upaya melahirkan sekolah model baru yang ideal dan berbasis kebutuhan masyarkat bukanlah sebuah pekerjaaan mudah . toh hingga sekarang implementasi gagasan yang dirancang intelektual yang hebat-hebat akan sulit terealisir, karena tidak memahami masyarakat desa, tetapi kita orang desa harus segera menggagasnya. Konsep dasarnya adalah sekolah berbasis komunitas/desa (Community Base Schooling) dimana wargalah yang menentukan baik buruknya anak-anak desa kedepan. Prinsip pendidikan atau sekolah alternatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Prinsip utama, pendidikan dilandasi semangat membebaskan, dan semangat perubahan kearah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan tidak kritis,dan tidak kreatif, sedangkan semangat perubahan lebih diartikan pada kesatuan belajar dan mengajar, siapa yang lebih tahu mengajari yang belum paham, hal ini kemudian akan didapat seorang guru ketika mengajar sebenarnya dia sedang belajar, terkadang belajar apa yang tidak diketahuinya dari murid.
Prinsip kedua, keberpihakan, adalah ideologi pendidikan itu sendiri, dimana akses keluarga miskin berhak atas pendidikan dan memperoleh pengetahuan.
Prinsip ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembi-raan murid dan guru dalam proses belajar mengajar, kegembiraan ini akan muncul apabila ruang sekat antara guru-murid tidak dibatasi, keduanya adalah tim, berproses secara partisipatif, guru sekedar fasilitator dalam meramu kurikulum.
Prinsip keempat, Mengutamakan prinsip partisipatif antara pengelola sekolah, guru, siswa,wali murid, masyarakat dan lingkungannya dalam merancang bangun sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dukungan penuh dari organisasi massa petani setempat yakni Persatuan Petani Miskin Way Serdang (PPMWS)-Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Ranting Moro-Moro memberikan arti tersendiri segera penyelenggaraan SMP Terbuka tersebut. Dengan bermodalkan semangat memajukan pendidikan di desanya maka dimulailah penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terbuka tersebut

SMP Terbuka “Harapan Rakyat” didirikan pada bulan Juni tahun 2006. SMP ini merupakan sebuah sekolah alternatif yang berangkat dari kondisi obyetif dan inisiatif masyarakat guna mendukung terlaksananya program Wajib Belajar 9 Tahun. . SMP Negeri Gedung Boga awalnya dipilih sebagai sekolah induk saat itu.

Sekolah ini mencoba mengembangkan model pendidikan yang tidak hanya bertujuan membebaskan anak-anak itu dari kemiskinan, tetapi juga melahirkan orang-orang yang bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang memiskinkan. Romo Mangunwijaya pernah berkaa apa gunannya kita mendidik ribuan sarana jika kelak sarjana tersebut hanya akan menindas rakyatnya sendiri.

Guru-guru yang mengajar adalah para aktifis AGRA, tenaga-tenaga lokal yang sejak awal menjadi penggiat pendidikan dan beberapa sarjana yang mempunyai komitmen untuk memajukan pendidikan rakyat. Para guru di sekolah ini memberikan pengabdian sebagian waktu, tenaga dan pikirannya untuk sekolah ini tanpa mendapatkan gaji. Metode belajar-mengajar yang dipakai di sekolah ini juga adalah metoda belajar yang aktif, kreatif dan dialogis.

Upaya awal ini mampu menjadi magnet bagi anak-anak kaum tani setempat untuk kembali bersekolah. 12 murid mendaftar di sekolah ini dan proses belajar mengajar pun segera dilakukan. Dengan fasilitas seadanya dan tempat belajar yang berpindah-pindah (kadang menumpang di lokal SD Moroseneng, sekretariat organisasi tani PPMWS bahkan lapangan bola) tidak menyurutkan niat para murid dan guru untuk terus menyelenggarakan pendidikan.

Saat awal pendirian , buku-buku pelajaran masih terbatas, kamipun membebaskan murid untuk tidak memakai seragam jka memang tidak mempunyai seragam. Begitu juga, boleh beralas kaki atau sama sekali telanjang. Buku-buku pelajaran didapat dari sumbangan para mahasiswa dan beberapa buah modul yang diberikan oleh sekolah induk. Satu buku terpaksa digunakan bersama-sama empat atau lima murid.

Pembangunan kesadaran dan partisipasi seluruh komponen pendidikan (guru, murid, orang tua murid, penyelenggara sekolah dan masyarakat baik dalam hal perencanaan, pengerjaan dan pengambilan keputusan dalam berbagai hal yang menyangkut kebutuhan, penyelenggaraan dan masa depan sekolah. Sebagai langkah awal untukmengatasi soal-soal yang berkaitan dengan operasional sekolah orang tua murid , guru dan siswa bersepakat untuk memakai sebuah lahan kosong untuk dijadikan lahan kolektif yang ditanami singkong.Untuk menghemat biaya produksinya seluruh pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama setiap minggunya. Seluruh hasil dari kebun kolektif tersebut akan diberikan untuk biaya operasional sekolah
Kemandirian, Kebersamaaan, Solidaritas , Partisipasi, dan Kreatifitas adalah nilai-nilai yang sejak awal dibangun dan ditanamkan di SMPT HR. Sejak awal Pembangunan hubungan kebersamaaan, kekeluargaan dan solidaritas di antara para siswa-siswi, guru dan orang tua murid memang dipupuk sejak dini . Hubungan semacam ini dikembangkan sehingga mereka tak segan-segan mengungkapkan beberapa persoalan pribadi dalam diri siswa dan meminta bantuan dalam menyelesaikannya.

Hal ini teruji ketika salah seorang murid tidak hadir beberapa hari, kemudian guru dan teman-temannya dating kerumah murid ybs. Ternyata murid tersebut tidak bisa sekolah dikarenakan saat itu musim hujan dan hampir seluruh atap rumahnya yang berasal dari weling (atap dari daun kelapa) telah jebol karenannya maka ia harus naik ke atap untuk menambalnya setiap kali hujan. Murid tersebut adalah seorang anak yatim dan satu-satunnya anak laki-laki dalam keluarga. Mendengar cerita tersebut spontan para guru dan murid mendiskusikan untuk membantu memecahkan persoalan tersebut. Akhirnya para guru dan murid sepakat untuk mencari kerja borongan yang seluruh upahnya akan dibelikan weling untuk mengganti atap rumah tersebut. Musyawarah juga menyepakati untuk bekerja bakti untuk membetulkan atap rumah tersebut. Tiga hari kemudian atap rumah selesai diperbaiki dan murid tersebut kembali rajin masuk sekolah.

Kerja keras semua kalangan mulai membuahkan hasil , dukungan yang mulai datang dari berbagai kalangan menjadi cambuk untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran. Sebuah organisasi mahasiswa di Bandar lampung yang aktif mengkampanyekan keberadaan sekolah ini berhasil menarik dukungan berbagai kalangan di kampus. Murid-murid SMPT HR acapkali diundang pada sebuah acara di kampus dan mereka mendapatkan berbagai macam sumbangan buku pelajaran, alat-alat tulis dll secara gratis.

Antusiasme masyarakat juga kemudian meningkat terbukti pada tahun ajaran 2007/2008 sekolah ini menerima 36 orang murid baru. Keberadaaan sekolah ini dipandang menjadi jawaban masyarakat Desa Moro-Moro yang haus akan kemajuan. Kini terdaftar 45 orang murid di sekolah yang awalnya sempat diragukan kelangsungannnya. Disatu sisi ini menjadi sebuah kebanggaan namun disisi lain ini menjadi masalah . Bertambahnya murid tentunnya berdampak pada meningkatnya kebutuhan biaya operasional pendidikan . Tapi sekali lagi kami yakin dengan kesadaran, artisipasidan dukungan berbagai pihak semua kendala pasti akan menemukan jalan keluarnya.

Pendanaan Sekolah
Satu masalah yang sejak awal sudah terasa dan dapat menjadi “bom” satu saat nanti bila tidak diatasi sejak dini adalah soal biaya operasional sekolah. Selama ini, biaya operasional sekolah-sekolah ini dibiayai melalui sumbangan-sumbangan lokal dari komunitas, para guru, individu-individu dan lembaga non-pemerintah. Biaya-biaya ini dikumpulkan dan dikelola oleh suatu unit khusus yang dinamakan Sahabat Rakyat.

Keteguhan untuk tetap menyelenggarakan sekolah di masa awal mengalami ujian berat. Dana BOS yang seharusnya menjadi milik 12 orang siswa tidak lagi diberikan.Hanya sekali diawal pendiriannya SMPT HR menerima dana sebanyak 500 ribu pada tiga bulan pertama selanjutnya dana tersebut tidak pernah lagi diberikan. Padahal dana BOS awalnya diharapkan dapat membantu meringankan kegiatan operasional SMPT ini

Mencari dana untuk membangun dan mengelola sekolah ternyata sama sulitnya dengan mencari kerja. Apalagi jika sekolah bersangkutan berlokasi di pedesaan yang penduduknya rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi hal tersebut berupaya disiasati lewat pembangunan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang mengetahui keberadaan sekolah yang sedang dikembangkan.

Beberapa Contoh Penggalangan Dana Mandiri yang dilakukan
Penyediaan lahan kolektif sekolah
Menggalakan gerakan menabung
Penggalakan kerja kolektif bersama orang tua murid, murid, guru dan penyelenggara sekolah
Pembuatan kantin sekolah yang modalnya berasal dari tabungan para murid
Bazaar barang-barang bekas di pedesaan yang dilaksanakan oleh para murid

Beberapa Contoh Penggalangan Kerjasama
Menghimpun sumbangan dari individu maupun organisasi-organisasi yang bersimpati
Pengumpulan barang-barang bekas (aksi seribu pakaian,buku dll)
Penjualan Marchandise sekolah (kaus, Stiker, film profil dll)

Penutup
Sekolah alternatif di desa Moro-moro lahir atas dasar kebutuhan dan keprihatinan bersama masyarakat Desa Moro-Moro akan masa depan pendidikan anak-anak mereka. Bodoh" dan "nyangkul" adalah dua cap setali tiga uang dari diri petani terhadap diri mereka sendiri. Cap itu sangat membekas dan karenanya membuat para petani gagap menghadapi kenyataan ketakadilan. Oleh karenanya beban itu tak hendak mereka bayangkan juga (akan terus) dipikul oleh keturunan mereka. Petani harus yakin bahwa pendidikan adalah jalan menuju perbaikan keadaan di masa mendatang
Sekolah ini sekali lagi dibangun adalah bukan sekedar tempat belajar ansih tapi juga pada dasarnya mengembangkan pendidikan yang tidak memisahkan diri dari masyarakat justru sebaliknya berintegrasi di dalam lingkungan masyarakat. Sekolah ini tidak ingin menjadi sekolah yang hanya mengajarkan ILMU untuk pergi (jadi buruh atau pembantu rumah tangga di kota".

Ahirnya sekelumit tulisan ini bermaksud menggugah semangat kaum tani dimanapun berada untuk terus optimis dan yakin bahwa lewat model pendidikan yang tepat maka kaum tani secara perlahan bisa keluar dari keterbelakangan dan kebodohan yang menyelimutinya. Berbagai keterbatasan yang dihadapi sudah barang tentu tidak bisa diselesaikan sendiri. Untuk itu kami juga mengajak pada para pembaca untuk terus memberikan berbagai dukungannya baik pikiran, tenaga maupun dana untuk mendukung berdirinya sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh rakyat.

Tidak ada komentar: