Rabu, 17 Oktober 2007

Antara Sekolah Alternatif dan ”Homeschooling”

Edisi Cetak - Senin, 23 Juli 2007

PERINGATAN Hari Anak Nasional, mau tidak mau, memaksa kita menengok salah satu kebutuhan manusia untuk mandapatkan pendidikan yang layak. Namun, sudah bukan rahasia umum jika banyak pihak yang merasa tidak puas dengan sistem pendidikan formal yang ditawarkan negeri ini. Bahkan, ada juga yang merasa berat dengan biaya sekolah yang menembus angka jutaan rupiah.

Berbagai ketidakpuasan ini mendorong sejumlah pihak untuk mencari alternatif sistem pendidikan lain yang dinilai bisa memberikan hasil yang ideal. Di wilayah perkotaan, muncullah apa yang disebut dengan homeschooling (sekolah di rumah), di mana anak dan orang tua yang akan menentukan sendiri pelajaran yang dipelajari. Orang tua berperan sebagai fasilitator atau pendamping.

Di Amerika, sistem ini sudah umum dipilih sejumlah orang tua. Namun, untuk Indonesia, sistem ini baru mencuat beberapa tahun belakangan dan menjadi tren di wilayah perkotaan, khususnya Jakarta. Walaupun sistemnya sendiri masih digodok Depdiknas di Jakarta, sejumlah orang tua, bahkan artis banyak yang melirik homeschooling ini sebagai alternatif pendidikan.
Sebut saja artis Sophia Latjuba. Berbekal kekecewaannya terhadap sistem pendidikan Indonesia, istri Michael A. Villareal ini mengizinkan putrinya, Eva Celia Lesmana untuk mengambil sistem pendidikan homeschooling.

Menurut Sophia, sistem pendidikan di sekolah formal itu terlaku kaku. Siswa dijejali berbagai mata pelajaran, termasuk yang tidak ia sukai. Sistem penilaian berdasarkan angka dan sitem pendidikan yang terpusat pada guru membuat minat dan bakat anak tidak tereksplorasi.

”Karena itulah, saya mengizinkan Eva untuk mengikuti homeschooling. Berbeda dengan sekolah formal, di homeschooling anak lebih enjoy. Dengan sistem pendampingan, minat dan bakat anak lebih tereksplorasi,” katanya.

Namun, bukan berarti sistem homeschooling terlepas dari kelemahan. Sosialisasi menjadi kelemahan terbesar dari sistem ini. Hal itu pulalah yang membuat artis Soraya Haque lebih memilih sekolah formal bagi putra-putrinya. ”Kalau saya yang pasti-pasti aja. Yang sudah jelas kurikulum dan sistemnya. Menurut saya, homeschooling itu hanya tepat bagi mereka yang orang tuanya kerap berpindah. Apalagi sistem ini membatasi kesempatan anak untuk bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya,” kata Aya, begitu dia biasa dipanggil.

**

Kelemahan sistem homeschooling ini rupanya ditangkap sejumlah pihak sebagai sebuah peluang. Berbekal kekecewaan serupa, muncullah sekolah-sekolah komunitas atau yang biasa disebut sekolah alternatif. Sebut saja Madrasah Aliah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta, Madrasah Tsanawiah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

”Berbeda dengan sekolah formal, kami menempatkan guru sebagai teman atau pendamping. Satu kelas terdiri dari dua orang guru dengan maksimal 24 siswa. Karena memosisikan diri sebagai pendamping, suasana belajar di kelas pun cair dan tidak kaku. Bahkan, guru-guru tidak dipanggil dengan sebutan Bapak atau Ibu, melainkan kakak,” kata Andi Sotioso, pendiri Rumah Belajar Semipalar, sebuah sekolah alternatif di Bandung, yang terletak di Jln. Sukamulya 77-79, Pasteur.

Sehingga, lanjutnya, siswa lebih enjoy dan kemampuannya lebih tereksplorasi dibanding di sekolah umum. Diakui Andi, pembentukan sekolah itu sendiri berawal dari keprihatinan terhadap pendidikan. ”Logikanya, kalau sekolah umum mampu menjawab kebutuhan, tentu tidak akan muncul sekolah alternatif,” tuturnya.

Hal senada diakui Santi (39), orang tua yang memilih sekolah alternatif bagi pendidikan putranya. ”Anak pertama saya dimasukkan ke sekolah umum. Hasilnya, saya kecewa dalam tanda kutip. Ternyata, pendidikan sekarang tidak mampu memfasilitasi anak secara maksimal untuk mengembangkan minat dan bakatnya,” tuturnya.

Berbekal ”kekecewaan” itu, Santi pun mencari alternatif pendidikan lain bagi putri keduanya dan menemukan Rumah Belajar Semipalar. ”Hasilnya ternyata memuaskan. Dengan suasana belajar yang menyenangkan, dia lebih mudah menyerap apa yang diajarkan di sekolah. Malah, ia udah bisa ngajarin saya astronomi,” ujar ibu dari Cissy (6) siswa kelas 1 Rumah Belajar Semipalar.

Mengenai biaya sekolah yang mencapai Rp 550.000,00/bulan, Santi mengaku tidak berkeberatan, yang terpenting kualitas pendidikan yang diperoleh putrinya. ”Hasilnya benar-benar terasa. Anak saya lebih PD (percaya diri-red.) untuk mengungkapkan sesuatu, karena memang di sekolah itu tidak ada kata salah. Anak belajar dari pengalaman, wawasannya terbuka, dan minatnya pun terangsang. Ini tidak bisa diperoleh dari sekolah formal biasa,” katanya.

**

Lain Semipalar, lain juga SMP Qaryah Thayyibah (QT). Kendati sama-sama berlatar belakang kekecewaan terhadap sistem pendidikan nasional, sekolah alternatif yang terletak di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah itu dirancang untuk menampung anak petani miskin. Namun, jangan salah, walaupun biayanya terhitung murah, kualitas lulusan sekolah ini tidak perlu diragukan, bahkan berhasil mendapatkan respons positif dari dalam dan luar negeri.

”Persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada matinya. Mulai dari persoalan kurikulum, paradigma, orientasi, dan kualitasnya masih menjadi perdebatan sengit di antara praktisi, pakar, dan pejabat negara, juga masyarakat. Karena itulah kami mencoba membangun sekolah yang tidak hanya berkualitas, tapi juga bisa terjangkau oleh kalangan petani,” kata Bahruddin, pendiri SMP QT, saat mengisi dialog ”Sekolah Komunitas Kelas Bawah” di Toko Buku Reading Lights, Jln. Siliwangi 16, Bandung.

Menurut dia, berdirinya sekolah itu sendiri tidak by design (tidak dirancang), tetapi by accident (tiba-tiba). ”Kami sekadar ingin mengumpulkan anak-anak para tetangga untuk belajar bersama dengan baik. Itu saja,” kata Bahruddin.

Seperti halnya Rumah Belajar Semipalar, SMP QT juga memosisikan guru sebagai pendamping belajar dan siswa adalah pusat dari semua kegiatan belajar. (Rika/”PR”/ Regina Job)***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/23/selisik/lainnya02.htm

Tidak ada komentar: