Rabu, 17 Oktober 2007

Antara Sekolah Alternatif dan ”Homeschooling”

Edisi Cetak - Senin, 23 Juli 2007

PERINGATAN Hari Anak Nasional, mau tidak mau, memaksa kita menengok salah satu kebutuhan manusia untuk mandapatkan pendidikan yang layak. Namun, sudah bukan rahasia umum jika banyak pihak yang merasa tidak puas dengan sistem pendidikan formal yang ditawarkan negeri ini. Bahkan, ada juga yang merasa berat dengan biaya sekolah yang menembus angka jutaan rupiah.

Berbagai ketidakpuasan ini mendorong sejumlah pihak untuk mencari alternatif sistem pendidikan lain yang dinilai bisa memberikan hasil yang ideal. Di wilayah perkotaan, muncullah apa yang disebut dengan homeschooling (sekolah di rumah), di mana anak dan orang tua yang akan menentukan sendiri pelajaran yang dipelajari. Orang tua berperan sebagai fasilitator atau pendamping.

Di Amerika, sistem ini sudah umum dipilih sejumlah orang tua. Namun, untuk Indonesia, sistem ini baru mencuat beberapa tahun belakangan dan menjadi tren di wilayah perkotaan, khususnya Jakarta. Walaupun sistemnya sendiri masih digodok Depdiknas di Jakarta, sejumlah orang tua, bahkan artis banyak yang melirik homeschooling ini sebagai alternatif pendidikan.
Sebut saja artis Sophia Latjuba. Berbekal kekecewaannya terhadap sistem pendidikan Indonesia, istri Michael A. Villareal ini mengizinkan putrinya, Eva Celia Lesmana untuk mengambil sistem pendidikan homeschooling.

Menurut Sophia, sistem pendidikan di sekolah formal itu terlaku kaku. Siswa dijejali berbagai mata pelajaran, termasuk yang tidak ia sukai. Sistem penilaian berdasarkan angka dan sitem pendidikan yang terpusat pada guru membuat minat dan bakat anak tidak tereksplorasi.

”Karena itulah, saya mengizinkan Eva untuk mengikuti homeschooling. Berbeda dengan sekolah formal, di homeschooling anak lebih enjoy. Dengan sistem pendampingan, minat dan bakat anak lebih tereksplorasi,” katanya.

Namun, bukan berarti sistem homeschooling terlepas dari kelemahan. Sosialisasi menjadi kelemahan terbesar dari sistem ini. Hal itu pulalah yang membuat artis Soraya Haque lebih memilih sekolah formal bagi putra-putrinya. ”Kalau saya yang pasti-pasti aja. Yang sudah jelas kurikulum dan sistemnya. Menurut saya, homeschooling itu hanya tepat bagi mereka yang orang tuanya kerap berpindah. Apalagi sistem ini membatasi kesempatan anak untuk bersosialisasi dengan anak-anak sebayanya,” kata Aya, begitu dia biasa dipanggil.

**

Kelemahan sistem homeschooling ini rupanya ditangkap sejumlah pihak sebagai sebuah peluang. Berbekal kekecewaan serupa, muncullah sekolah-sekolah komunitas atau yang biasa disebut sekolah alternatif. Sebut saja Madrasah Aliah Bingkat di Sumatera Utara, Sekolah Anak Rima ”Sokola” di Jambi, Sanggar Akar dan Sanggar Ciliwung di Jakarta, Madrasah Tsanawiah As Sururon dan Bale Rahayat di Garut, SMP Qaryah Thayyibah di Salatiga, Sanggar Anak Alam dan SD Mangunan di Yogyakarta, dan masih banyak lagi.

”Berbeda dengan sekolah formal, kami menempatkan guru sebagai teman atau pendamping. Satu kelas terdiri dari dua orang guru dengan maksimal 24 siswa. Karena memosisikan diri sebagai pendamping, suasana belajar di kelas pun cair dan tidak kaku. Bahkan, guru-guru tidak dipanggil dengan sebutan Bapak atau Ibu, melainkan kakak,” kata Andi Sotioso, pendiri Rumah Belajar Semipalar, sebuah sekolah alternatif di Bandung, yang terletak di Jln. Sukamulya 77-79, Pasteur.

Sehingga, lanjutnya, siswa lebih enjoy dan kemampuannya lebih tereksplorasi dibanding di sekolah umum. Diakui Andi, pembentukan sekolah itu sendiri berawal dari keprihatinan terhadap pendidikan. ”Logikanya, kalau sekolah umum mampu menjawab kebutuhan, tentu tidak akan muncul sekolah alternatif,” tuturnya.

Hal senada diakui Santi (39), orang tua yang memilih sekolah alternatif bagi pendidikan putranya. ”Anak pertama saya dimasukkan ke sekolah umum. Hasilnya, saya kecewa dalam tanda kutip. Ternyata, pendidikan sekarang tidak mampu memfasilitasi anak secara maksimal untuk mengembangkan minat dan bakatnya,” tuturnya.

Berbekal ”kekecewaan” itu, Santi pun mencari alternatif pendidikan lain bagi putri keduanya dan menemukan Rumah Belajar Semipalar. ”Hasilnya ternyata memuaskan. Dengan suasana belajar yang menyenangkan, dia lebih mudah menyerap apa yang diajarkan di sekolah. Malah, ia udah bisa ngajarin saya astronomi,” ujar ibu dari Cissy (6) siswa kelas 1 Rumah Belajar Semipalar.

Mengenai biaya sekolah yang mencapai Rp 550.000,00/bulan, Santi mengaku tidak berkeberatan, yang terpenting kualitas pendidikan yang diperoleh putrinya. ”Hasilnya benar-benar terasa. Anak saya lebih PD (percaya diri-red.) untuk mengungkapkan sesuatu, karena memang di sekolah itu tidak ada kata salah. Anak belajar dari pengalaman, wawasannya terbuka, dan minatnya pun terangsang. Ini tidak bisa diperoleh dari sekolah formal biasa,” katanya.

**

Lain Semipalar, lain juga SMP Qaryah Thayyibah (QT). Kendati sama-sama berlatar belakang kekecewaan terhadap sistem pendidikan nasional, sekolah alternatif yang terletak di Desa Kalibening, Salatiga, Jawa Tengah itu dirancang untuk menampung anak petani miskin. Namun, jangan salah, walaupun biayanya terhitung murah, kualitas lulusan sekolah ini tidak perlu diragukan, bahkan berhasil mendapatkan respons positif dari dalam dan luar negeri.

”Persoalan pendidikan di Indonesia memang tak ada matinya. Mulai dari persoalan kurikulum, paradigma, orientasi, dan kualitasnya masih menjadi perdebatan sengit di antara praktisi, pakar, dan pejabat negara, juga masyarakat. Karena itulah kami mencoba membangun sekolah yang tidak hanya berkualitas, tapi juga bisa terjangkau oleh kalangan petani,” kata Bahruddin, pendiri SMP QT, saat mengisi dialog ”Sekolah Komunitas Kelas Bawah” di Toko Buku Reading Lights, Jln. Siliwangi 16, Bandung.

Menurut dia, berdirinya sekolah itu sendiri tidak by design (tidak dirancang), tetapi by accident (tiba-tiba). ”Kami sekadar ingin mengumpulkan anak-anak para tetangga untuk belajar bersama dengan baik. Itu saja,” kata Bahruddin.

Seperti halnya Rumah Belajar Semipalar, SMP QT juga memosisikan guru sebagai pendamping belajar dan siswa adalah pusat dari semua kegiatan belajar. (Rika/”PR”/ Regina Job)***

http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2007/072007/23/selisik/lainnya02.htm

MTs. Sururon Melampaui Keterbatasan



KEBERHASILAN siswa-siswa di Madrasah Tsanawiah (MTs.) Sururon yang terletak di Desa Sarimukti, Kecamatan Pasir Wangi, Kabupaten Garut, pada UN tahun ini patut diacungi jempol. Dengan kondisi sekolah yang terbatas seluruh34 siswa yang mengikuti UN tahun ini dinyatakan lulus. Padahal, di sejumlah sekolah lainnya yang kondisinya relatif lebih baik, banyak siswanya tidak lulus UN.


Prestasi Sururon mungkin tidak akan menjadi sesuatu yang luar biasa jika sekolah tersebut memiliki fasilitas pengajaran yang memadai.

Di Sururon, kita tidak menemukan hal itu. Sekolah tersebut tidak punya perpustakaan. Bahkan, staf pengajarnya pun belum bersertifikasi. Dari 17 staf pengajar di sana, mayoritas pengajar hanya lulusan SMP, seperti Deden, guru bahasa Inggris. Baru bulan depan Deden mengikuti ujian Paket C agar dapat memiliki ijazah SMA. Selanjutnya, Deden berencana melanjutkan kuliah di Universitas Terbuka.

Uniknya, nilai UN bahasa Inggris di sekolah tersebut, di atas standar pemerintah, yakni 4,26. Bahkan sejumlah siswa mampu meraih nilai 9.

Dengan segala keterbatasan tersebut, ternyata Sururon mampu berprestasi. Meskipun sejumlah siswa diajar oleh guru yang hanya tamat SMP, Sururon bisa bersaing dengan sekolah lainnya. Bahkan pencapaian prestasinya lebih baik dibandingkan sekolah lainnya.

Padahal Sururon merupakan sekolah alternatif yang didirikan oleh komunitas setempat, yakni SPP (Serikat Petani Pasundan). Sekolah ini, sebagaimana dikatakan Boy Fidro, guru matematika, merupakan sekolah berbasis komunitas.

Selama ini sekolah-sekolah yang berbasis komunitas sering termarginalkan. Hal ini sangat disayangkan karena sebenarnya melalui sekolah semacam ini, upaya peningkatan kualitas pendidikan bisa dengan mudah dilakukan. Tugas pemerintah untuk mencerdaskan rakyatnya pun semakin dipermudah dengan adanya sekolah-sekolah komunitas.

Setidaknya sekolah komunitas seperti Sururon membuka kesempatan bagi semua orang termasuk masyarakat miskin untuk mengakses pendidikan. Selama ini, orang yang dilahirkan miskin, mereka akan terus miskin seumur hidup karena pintu-pintu untuk mengubah kehidupan mereka telah tertutup rapat. Biaya pendidikan yang mahal umumnya telah membuat masyarakat miskin harus menerima nasib untuk hidup miskin seumur hidup. Karena itu, eksistensi sekolah komunitas memungkinkan masyarakat miskin dapat memperbaiki tingkat kehidupannya.

Sururon pun didirikan oleh masyarakat miskin setempat yang berharap kehidupan mereka bisa diubah melalui pendidikan. Keberadaan Sururon mampu mematahkan persepsi masyarakat bahwa pencapaian sekolah ditentukan oleh pengajar yang berkualifikasi tinggi.

Sururon berhasil menghilangkan persepsi itu. Setidaknya, guru yang bergelar ternyata tidak menjadi jaminan terjadinya proses pendidikan yang membebaskan. Padahal, pendidikan yang membebaskan ini, sebagaimana diakui oleh Boy Fidro dan juga Intje, pada akhirnya akan melepaskan masyarakat Sururon dari belenggu kemiskinan dan kebodohan.

Sistem pengajaran di Sururon memang berbeda dengan sekolah lainnya. Siswa menjadi subjek atas dirinya. Karena itu, tidak heran para siswa di sana begitu mahir dalam mengemukakan pendapatnya.

Demikian pula, corporal punishment yang masih diterapkan di sejumlah sekolah formal, tidak akan ditemukan di sana. Para pengajar berupaya mendidik para siswanya dengan lemah lembut. Sebagai contoh, Ridwan Intje, pengajar matematika, selalu memanggil murid-muridnya dengan kata ”bageur”. Bahkan, jika ada siswa yang tidak mengerjakan tugas ataupun terlambat, para pengajar tidak pernah menunjukkan respons marah sedikitpun.


Mereka justru mengajak dialog siswanya yang melakukan kesalahan tersebut. Pendekatan tanpa kekerasan ini diyakini Kepsek MTs. Sururon, Aang berkontribusi positif terhadap pengembangan siswa di masa depan.
Pendidikan yang membebaskan dan memanusiakan diyakini mampu menghilangkan proses dehumanisasi yang melanda dunia pendidikan kapitalis saat ini. Boy mengungkapkan bahwa metode pendidikan yang membebaskan seperti diterapkan di Sururon, menjadikan masyarakat miskin atau marginal lainnya mampu mencapai kesejajaran pembagian pengetahuan. (Huminca/”PR”) ***

Selasa, 09 Oktober 2007

Konflik Agraria, Kemiskinan, dan Lahirnya Sekolah Alternatif

Oleh : Oki Hajiansyah Wahab
(Aktif di Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Lampung, Mahasiswa Program Pasca Sarjana Universitas Lampung)

Pengantar
Baru-baru ini Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Propinsi Lampung mengumumkan bahwasanya jumlah penduduk Provinsi Lampung yang hidup di bawah garis kemiskinan dalam kurun waktu 21 bulan meningkat sebanyak 88.100 jiwa. Berdasarkan data BPS, jumlah penduduk miskin Lampung pada Juli 2005 lalu berjumlah 1.572.600 atau 21,42 persen. Namun pada Maret 2007, angka itu meningkat hingga mencapai 1.660.700 jiwa atau 22,19 persen. Propinsi Lampung kini menjadi provinsi termiskin kedua di Sumatera. setelah Nangroe Aceh Darussalam. Untuk tingkat nasional, Lampung menjadi provinsi termiskin kesembilan atau menempati ranking ke-25 dari 33 provinsi di Indonesia.(Lampost, 7 Agustus 2007)

Sepintas, dampak kemiskinan atas pendidikan memang tidak terlalu terlihat jelas di kota-kota. Tetapi jika kita mengalihkan pandangan ke desa-desa, akan terlihat suatu panorama ketidakadilan. Sempitnya akses pada pendidikan bermutu lebih banyak dirasakan mereka yang tinggal di pinggiran dan pedesaan. Laporan Kompas tahun 2004 yang menyajikan bahwa lebih dari 60% penduduk miskin Indonesia tinggal di daerah pedesaan. Data statistik BPS Lampung tahun 2007 menyebutan bahwaannya penduduk miskin terbanyak yakni mencapai 77,96 persen terletak di pedesaan.

Di Propinsi Lampung sendiri menurut versi pemerintah terdapat 985 desa tertinggal atau 34 % dari total jumlah desa yang ada di Lampung Kondisi inilah yang membuat sebagian besar anak-anak bangsa di desa dan daerah terpencil sulit mengakses pendidikan yang bermutu. Situasi kemiskinan ditenggarai sebagai faktor utama penyebab tingginya angka putus sekolah dan buta aksara. Akibat mahalnya biaya pendidikan, tercatat 75-80% (7-8 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SD sampai SMA putus sekolah dan 60% (6 orang dari setiap 10 orang) pelajar setingkat SMU tak mampu melanjutkan ke bangku kuliah (Kompas; 6 September 2006). Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat tak kurang dari 15,04 juta penduduk Indonesia usia di atas 10 tahun (9,07 persen) belum mampu membaca dan menulis.

Di Propinsi Lampung sendiri terdapat 382.992 anak putus sekolah yang rinciannya adalah 23.458 anak setara SD, 23.314 anak setingkat SMP dan 19.761 anak setara SMA.. Sementara angka partisipasi kasar (APK) sekolah untuk tingkat SD di Lampung mencapai 30,64 persen jauh di bawah standar APK nasional 35,87 persen ( Lampost, Sabtu, 14 Oktober 2006). Untuk buta aksata terdapat 47.172 orang dan dari 41.742 penyandang buta aksara, 28.386 orang adalah perempuan dan sisanya 13.257 adalah laki-laki (Lampost,Sabtu, 7 April 2007)
Dalam UUD 1945 dituliskan bahwa pendidikan adalah hak bagi semua warga negara, berarti setiap warga negara RI harus terdidik dan mendapatkan pendidikan yang memenuhi standar yang telah ditentukan. Pasalnya, meski dalam UUD 1945 ditegaskan bahwa pemerintah wajib menanggung pembiayaan pendidikan dasar semua warga negara Indonesia tak terkecuali kaum miskin baik diperkotaan maupun pedesaaan . Namun sampai dengan hari ini anggaran pendidikan yang dijanjika sebesar 20% dari APBN dan APBD sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945, sampai kini tak kunjung terpenuhi.

Oleh karenanya wajar jika angka putus sekolah belum berubah secara signifikan terutama diwilayah pedesaan yang masyarakatnya masih berkutat dengan kemiskinan. Kemiskinan dan putus sekolah dianggap sebagai dua sisi dari satu mata uang. Kemiskinan yang mendera sebagian besar keluarga kurang mampu menyebabkan mereka tidak dapat menyekolahkan anak-anaknya secara optimal. Gara-gara miskin, jutaan anak usia sekolah kehilangan haknya untuk mendapat pendidikan sekalipun wajib belajar telah dicanangkan oleh pemerintah lebih dari 10 tahun lalu.

Kondisi Desa Moro- Moro Register 45 Sungai Buaya TulangBawang
Desa Moro-Moro terletak di Kawasan Hutan Produksi Register 45, Sungai Buaya Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Tulang Bawang. Desa Moro-moro (belum definitif) dapat ditempuh sekitar 5 jam dalam kondisi jalan normal dari Kota Bandar Lampung, dengan menggunakan bus antar kota pada siang hari dan bus antar propinsi pada malam hari.

Moro-moro diambil bahasa Jawa yang berarti “berdatangan”, nama ini dipilih dikarenakan proses sejarah bagaiman para petani pengarap ini masuk ke kawasan Hutan Reg 45 milik Departemen Kehutanan yang dikelola oleh PT. Sylva Inhutanni Lampung dengan izin Hak Penguasaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI). Menurut masyarakat saat itu , PT Silva-Inhutani sebenarnya tidak pernah memanfaatkan lahan seluas 43.100 hektar itu sesuai dengan SK peruntukan lahan. Tidak seluruh areal ditanami tanaman akasia oleh perusahaan. Perusahaan hanya memanfaatkan sebagian kecil lahan untuk ditanami tanaman akasia.

Dengan berbagai “cara” para penggarap masuk ke areal tanah terlantar di kawasan Register 45 dengan tujuan yang umumnya sama, yakni demi mempertahankan kelangsungan hidup. Desa Moro-Moro terdiri dari lima dusun (Asahan, Morodewe, Moroseneng, Morodadi dan Sukamakmur) dan kini dihuni oleh 1126 Kepala keluarga. Secara umum, para penggarap yang mendiami areal Register 45 terdiri dari tiga kelompok keetnisan besar, yakni kelompok masyarakat Jawa, Bali, dan Lampung. Sebagian besar penggarap berasal dari kawasan-kawasan transmigrasi yang berada di wilayah Propinsi Lampung. Untuk mempertahankan hidup, warga menggarap lahan dengan menanam tanaman-tanaman singkong, padi lahan kering (huma) serta memelihara hewan yang semuanya ditujukan untuk kepentingan subsistensi (konsumsi).

Ancaman penggusuran yang sudah dirasakan sejak tahun 2003 namun berkat perjuangan yang gigih dari kaum tani sampai sekarang para petani masih tetap dapat bertahan dan bercocok tanam. Upaya untuk mendapatkan pengakuan sebagai wilayah setingkat desa menghadapi kendala. Pemerintah Kabupaten Tulangbawang tidak bersedia mengakui status desa di “Moro-Moro” itu karena tanah yang didiami berada di dalam areal Register 45. Masalah-masalah pengadministrasian kewarganegaraan pun tidak mendapatkan pelayanan yang semestinya dari pemerintah setempat. Hampir semua warga tidak memiliki KTP. Namun uniknya, pada Pemilu 2004 lalu, semua warga didata sebagai pemilih dan diadakan tiga Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Konflik agraria yang terus-menerus terjadi mengakibatkan posisi kaum tani Indonesa semakin terjepit dalam jurang kemiskinan . Dari tahun ketahun, ketimpangan struktur agraria dengan adanya monopoli atas sumber-sumber agraria semakin hebat. Jumlah pemegang konsensi dalam bentuk Hak Guna Usaha (HPU) dan Hak Pengusahaan Hutan (HPH) ataupun konsensi untuk pertambangan semakin intensif dan masif. Secara aktual, proses pemberian konsensi tersebut telah banyak meminggirkan bahkan mengambil tanah-tanah rakyat baik tanah garapan (land grabbing) maupun terhadap areal pemukiman rakyat. Jika kita merujuk, hasil Sensus Pertanian (SP) 2003 yang menunjukkan semakin miskinnya petani Indonesia. Hal itu terlihat dari meningkatnya jumlah petani gurem tahun 2003 menjadi 56,5%. Selama sepuluh tahun terakhir, jumlah petani gurem meningkat 2,6% per tahun, yaitu dari 10,8 juta rumah tangga menjadi 13,7 juta tahun 2003.

Sementara Di Propinsi Lampung sebuah penelitian yang dilakukan Oleh Dewan Rakyat Lampung (DRL) menunjukan bahwa di Lampung sekurang-kurangnya telah terjadi 92 kasus sengketa tanah seluas 437.002,52 hektare. Akibatnya 134.750 Kepala Keluarga (KK) petani tidak mempunyai tempat tinggal dan harus hidup secara berpindah-pindah atau nomaden. Pada tahun 2004 dari 1.561.931 jiwa penduduk miskin di Lampung, 70,23% bekerja di sektor pertanian). Dari keadaan yang dipaparkan tersebut menjelaskan bahwa krisis agraria di Propinsi Lampung, meningkat semakin tajam, luas dan dalam, baik ditinjau dari segi kuantitas maupun dari segi kualitas.

Situasi konflik agraria inilah yang menyebabkan masyarakat yang berada di daerah-daerah konflik tak terkecuali di Desa Moro-moro terus berkutat dalam masalah-masalah kemiskinan. Selain miskin perasaan was-was juga berdampak proses pendidikan anak-anak kaum tani. Situasi yang acapkali berubah-ubah menyebakan perhatian terhadap soal-soal pendidikan menjadi sangatlah kurang. Sebuah desa dengan jumlah penduduk yang banyak di tanah sengketa sudah dipastikan bakal sulit mencuri perhatian birokrasi pendidikan.
Minimnya angka partisipasi sekolah didesa ini menyatakan bahwasannya tidak sampai lima persen anak-anak dari lulusan SD di Moro-Moro yang melanjutkan sekolah ke tingkat Sekolah Menengah Pertama. Alasan yang mengemuka adalah karena keterbatasan ekonomi keluarga dan soal jauhnya sekolah dari tempat tinggal mereka. Banyaknya anak putus sekolah yang tidak melanjutkan ke jenjang SMP menggugah keprihatinan organisasi tentang masa depan anak-anak mereka.
Feri (14) menuturkan, untuk menjangkau SMP negeri terdekat ia harus berjalan kaki selama satu jam atau 30 menit jika memakai sepeda. Kondisi tersebut menyebabkan dirinya harus berpikir anjang jika ingin meneruskan sekolah. Belum lagi biaya untuk sekolah tidak ringan. Uang masuknya ratusan ribu rupiah, uang sekolah rata- rata Rp 25.000 per bulan,sekolah yang mesti ditanggunh meskipun katannya sudah ada Biaya Operasional Sekolah (BOS) tetap ada saja ada iuran-iuran yang ditetapkan sekolah dengan berbagai alasan. Padahal orangtuanya hanyalah seorang buruh tani yang mengandalkan kehidupan mereka dari kerja upahan yang diberikan orang lain.
Tidak adanya sekolah lanjutan pertama/ SMP di Desa Moro-Moro Register 45, Sungai Buaya Kecamatan Way Serdang, Kabupaten Tulang Bawang tidak menyurutkan niat para pengurus Persatuan Petani Miskin Way Serdang (PPMSW) untuk merintis terbentuknya SMP Terbuka di tanah yang masih bersatus sengketa ini. Keberhasilan memulai membangun secara mandiri SD di tiga Dusun (Morodewe, Moroseneng dan Suamakmur) secara mandiri menebalkan keyakinan mereka bahwa mendirikan sebuah SMP Terbuka secara mandiri juga bukanlah hal yang mustahil. Pendidikan harus tetap diselenggarakan dimanapun dan dalam keadaan apapun meskipun mereka sadar bahwa tanah yang ditempati masih berstatus sengketa.

Harapan masyarakat desa Moro-moro yang kondisinya masih perlu peningkatan kesejahteraaan tentunya kedepan harus memiliki cita-cita agar sekolah dapat terjangkau, dekat, dan memenuhi kebutuhan lingkungannya. Harapan itu kemudian mulai digagas oleh warga. Sekolah alternatif yang gratis dianggap merupakan satu-satu jalan untuk meningkatkan mutu dan martabat kehidupan para petani miskin itu. Masyarakat di Kawasan Regiser 45 Sungai Buaya, memiliki kesulitan untuk menyekolahkan anak-anaknya dari sekolah dasar ke sekolah menengah. Penyebabnya sederhana yakni biaya untuk sekolah anak yang tidak terjangkau, baik untuk biaya transportasi maupun biaya yang dibayarkan orang tua ke sekolah, dibandingkan dengan pendapatan mereka.

Membangun Sekolah Alternatif
Pengamat pendidikan Dr Mochtar Buchori mengemukakan perlunya pendidikan untuk orang miskin yang didesain untuk mengembangkan tekad anak keluar dari belenggu kemiskinan, memahami sejarah yang membuat mereka miskin, dan mengembangkan kesadaran tentang ada cara yang baik bagi mereka untuk keluar dari kemiskinannya. Dalam kerangka berpikir seperti itu, pendidikan untuk kaum miskin tidak hanya sekadar mengajarkan teknis membaca dan menulis, tapi juga dengan membangun kesadaran dengan memberikan keterampilan kerja.
Upaya melahirkan sekolah model baru yang ideal dan berbasis kebutuhan masyarkat bukanlah sebuah pekerjaaan mudah . toh hingga sekarang implementasi gagasan yang dirancang intelektual yang hebat-hebat akan sulit terealisir, karena tidak memahami masyarakat desa, tetapi kita orang desa harus segera menggagasnya. Konsep dasarnya adalah sekolah berbasis komunitas/desa (Community Base Schooling) dimana wargalah yang menentukan baik buruknya anak-anak desa kedepan. Prinsip pendidikan atau sekolah alternatif yang dimaksud adalah sebagai berikut:
Prinsip utama, pendidikan dilandasi semangat membebaskan, dan semangat perubahan kearah yang lebih baik. Membebaskan berarti keluar dari belenggu legal formalistik yang selama ini menjadikan pendidikan tidak kritis,dan tidak kreatif, sedangkan semangat perubahan lebih diartikan pada kesatuan belajar dan mengajar, siapa yang lebih tahu mengajari yang belum paham, hal ini kemudian akan didapat seorang guru ketika mengajar sebenarnya dia sedang belajar, terkadang belajar apa yang tidak diketahuinya dari murid.
Prinsip kedua, keberpihakan, adalah ideologi pendidikan itu sendiri, dimana akses keluarga miskin berhak atas pendidikan dan memperoleh pengetahuan.
Prinsip ketiga, metodologi yang dibangun selalu berdasarkan kegembi-raan murid dan guru dalam proses belajar mengajar, kegembiraan ini akan muncul apabila ruang sekat antara guru-murid tidak dibatasi, keduanya adalah tim, berproses secara partisipatif, guru sekedar fasilitator dalam meramu kurikulum.
Prinsip keempat, Mengutamakan prinsip partisipatif antara pengelola sekolah, guru, siswa,wali murid, masyarakat dan lingkungannya dalam merancang bangun sistem pendidikan yang sesuai kebutuhan masyarakat.
Dukungan penuh dari organisasi massa petani setempat yakni Persatuan Petani Miskin Way Serdang (PPMWS)-Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA) Ranting Moro-Moro memberikan arti tersendiri segera penyelenggaraan SMP Terbuka tersebut. Dengan bermodalkan semangat memajukan pendidikan di desanya maka dimulailah penyelenggaraan Sekolah Menengah Pertama (SMP) terbuka tersebut

SMP Terbuka “Harapan Rakyat” didirikan pada bulan Juni tahun 2006. SMP ini merupakan sebuah sekolah alternatif yang berangkat dari kondisi obyetif dan inisiatif masyarakat guna mendukung terlaksananya program Wajib Belajar 9 Tahun. . SMP Negeri Gedung Boga awalnya dipilih sebagai sekolah induk saat itu.

Sekolah ini mencoba mengembangkan model pendidikan yang tidak hanya bertujuan membebaskan anak-anak itu dari kemiskinan, tetapi juga melahirkan orang-orang yang bisa melakukan perubahan terhadap sistem yang memiskinkan. Romo Mangunwijaya pernah berkaa apa gunannya kita mendidik ribuan sarana jika kelak sarjana tersebut hanya akan menindas rakyatnya sendiri.

Guru-guru yang mengajar adalah para aktifis AGRA, tenaga-tenaga lokal yang sejak awal menjadi penggiat pendidikan dan beberapa sarjana yang mempunyai komitmen untuk memajukan pendidikan rakyat. Para guru di sekolah ini memberikan pengabdian sebagian waktu, tenaga dan pikirannya untuk sekolah ini tanpa mendapatkan gaji. Metode belajar-mengajar yang dipakai di sekolah ini juga adalah metoda belajar yang aktif, kreatif dan dialogis.

Upaya awal ini mampu menjadi magnet bagi anak-anak kaum tani setempat untuk kembali bersekolah. 12 murid mendaftar di sekolah ini dan proses belajar mengajar pun segera dilakukan. Dengan fasilitas seadanya dan tempat belajar yang berpindah-pindah (kadang menumpang di lokal SD Moroseneng, sekretariat organisasi tani PPMWS bahkan lapangan bola) tidak menyurutkan niat para murid dan guru untuk terus menyelenggarakan pendidikan.

Saat awal pendirian , buku-buku pelajaran masih terbatas, kamipun membebaskan murid untuk tidak memakai seragam jka memang tidak mempunyai seragam. Begitu juga, boleh beralas kaki atau sama sekali telanjang. Buku-buku pelajaran didapat dari sumbangan para mahasiswa dan beberapa buah modul yang diberikan oleh sekolah induk. Satu buku terpaksa digunakan bersama-sama empat atau lima murid.

Pembangunan kesadaran dan partisipasi seluruh komponen pendidikan (guru, murid, orang tua murid, penyelenggara sekolah dan masyarakat baik dalam hal perencanaan, pengerjaan dan pengambilan keputusan dalam berbagai hal yang menyangkut kebutuhan, penyelenggaraan dan masa depan sekolah. Sebagai langkah awal untukmengatasi soal-soal yang berkaitan dengan operasional sekolah orang tua murid , guru dan siswa bersepakat untuk memakai sebuah lahan kosong untuk dijadikan lahan kolektif yang ditanami singkong.Untuk menghemat biaya produksinya seluruh pekerjaan dikerjakan secara bersama-sama setiap minggunya. Seluruh hasil dari kebun kolektif tersebut akan diberikan untuk biaya operasional sekolah
Kemandirian, Kebersamaaan, Solidaritas , Partisipasi, dan Kreatifitas adalah nilai-nilai yang sejak awal dibangun dan ditanamkan di SMPT HR. Sejak awal Pembangunan hubungan kebersamaaan, kekeluargaan dan solidaritas di antara para siswa-siswi, guru dan orang tua murid memang dipupuk sejak dini . Hubungan semacam ini dikembangkan sehingga mereka tak segan-segan mengungkapkan beberapa persoalan pribadi dalam diri siswa dan meminta bantuan dalam menyelesaikannya.

Hal ini teruji ketika salah seorang murid tidak hadir beberapa hari, kemudian guru dan teman-temannya dating kerumah murid ybs. Ternyata murid tersebut tidak bisa sekolah dikarenakan saat itu musim hujan dan hampir seluruh atap rumahnya yang berasal dari weling (atap dari daun kelapa) telah jebol karenannya maka ia harus naik ke atap untuk menambalnya setiap kali hujan. Murid tersebut adalah seorang anak yatim dan satu-satunnya anak laki-laki dalam keluarga. Mendengar cerita tersebut spontan para guru dan murid mendiskusikan untuk membantu memecahkan persoalan tersebut. Akhirnya para guru dan murid sepakat untuk mencari kerja borongan yang seluruh upahnya akan dibelikan weling untuk mengganti atap rumah tersebut. Musyawarah juga menyepakati untuk bekerja bakti untuk membetulkan atap rumah tersebut. Tiga hari kemudian atap rumah selesai diperbaiki dan murid tersebut kembali rajin masuk sekolah.

Kerja keras semua kalangan mulai membuahkan hasil , dukungan yang mulai datang dari berbagai kalangan menjadi cambuk untuk terus meningkatkan kualitas pengajaran. Sebuah organisasi mahasiswa di Bandar lampung yang aktif mengkampanyekan keberadaan sekolah ini berhasil menarik dukungan berbagai kalangan di kampus. Murid-murid SMPT HR acapkali diundang pada sebuah acara di kampus dan mereka mendapatkan berbagai macam sumbangan buku pelajaran, alat-alat tulis dll secara gratis.

Antusiasme masyarakat juga kemudian meningkat terbukti pada tahun ajaran 2007/2008 sekolah ini menerima 36 orang murid baru. Keberadaaan sekolah ini dipandang menjadi jawaban masyarakat Desa Moro-Moro yang haus akan kemajuan. Kini terdaftar 45 orang murid di sekolah yang awalnya sempat diragukan kelangsungannnya. Disatu sisi ini menjadi sebuah kebanggaan namun disisi lain ini menjadi masalah . Bertambahnya murid tentunnya berdampak pada meningkatnya kebutuhan biaya operasional pendidikan . Tapi sekali lagi kami yakin dengan kesadaran, artisipasidan dukungan berbagai pihak semua kendala pasti akan menemukan jalan keluarnya.

Pendanaan Sekolah
Satu masalah yang sejak awal sudah terasa dan dapat menjadi “bom” satu saat nanti bila tidak diatasi sejak dini adalah soal biaya operasional sekolah. Selama ini, biaya operasional sekolah-sekolah ini dibiayai melalui sumbangan-sumbangan lokal dari komunitas, para guru, individu-individu dan lembaga non-pemerintah. Biaya-biaya ini dikumpulkan dan dikelola oleh suatu unit khusus yang dinamakan Sahabat Rakyat.

Keteguhan untuk tetap menyelenggarakan sekolah di masa awal mengalami ujian berat. Dana BOS yang seharusnya menjadi milik 12 orang siswa tidak lagi diberikan.Hanya sekali diawal pendiriannya SMPT HR menerima dana sebanyak 500 ribu pada tiga bulan pertama selanjutnya dana tersebut tidak pernah lagi diberikan. Padahal dana BOS awalnya diharapkan dapat membantu meringankan kegiatan operasional SMPT ini

Mencari dana untuk membangun dan mengelola sekolah ternyata sama sulitnya dengan mencari kerja. Apalagi jika sekolah bersangkutan berlokasi di pedesaan yang penduduknya rata-rata hidup di bawah garis kemiskinan. Tapi hal tersebut berupaya disiasati lewat pembangunan jaringan kerjasama dengan berbagai pihak yang mengetahui keberadaan sekolah yang sedang dikembangkan.

Beberapa Contoh Penggalangan Dana Mandiri yang dilakukan
Penyediaan lahan kolektif sekolah
Menggalakan gerakan menabung
Penggalakan kerja kolektif bersama orang tua murid, murid, guru dan penyelenggara sekolah
Pembuatan kantin sekolah yang modalnya berasal dari tabungan para murid
Bazaar barang-barang bekas di pedesaan yang dilaksanakan oleh para murid

Beberapa Contoh Penggalangan Kerjasama
Menghimpun sumbangan dari individu maupun organisasi-organisasi yang bersimpati
Pengumpulan barang-barang bekas (aksi seribu pakaian,buku dll)
Penjualan Marchandise sekolah (kaus, Stiker, film profil dll)

Penutup
Sekolah alternatif di desa Moro-moro lahir atas dasar kebutuhan dan keprihatinan bersama masyarakat Desa Moro-Moro akan masa depan pendidikan anak-anak mereka. Bodoh" dan "nyangkul" adalah dua cap setali tiga uang dari diri petani terhadap diri mereka sendiri. Cap itu sangat membekas dan karenanya membuat para petani gagap menghadapi kenyataan ketakadilan. Oleh karenanya beban itu tak hendak mereka bayangkan juga (akan terus) dipikul oleh keturunan mereka. Petani harus yakin bahwa pendidikan adalah jalan menuju perbaikan keadaan di masa mendatang
Sekolah ini sekali lagi dibangun adalah bukan sekedar tempat belajar ansih tapi juga pada dasarnya mengembangkan pendidikan yang tidak memisahkan diri dari masyarakat justru sebaliknya berintegrasi di dalam lingkungan masyarakat. Sekolah ini tidak ingin menjadi sekolah yang hanya mengajarkan ILMU untuk pergi (jadi buruh atau pembantu rumah tangga di kota".

Ahirnya sekelumit tulisan ini bermaksud menggugah semangat kaum tani dimanapun berada untuk terus optimis dan yakin bahwa lewat model pendidikan yang tepat maka kaum tani secara perlahan bisa keluar dari keterbelakangan dan kebodohan yang menyelimutinya. Berbagai keterbatasan yang dihadapi sudah barang tentu tidak bisa diselesaikan sendiri. Untuk itu kami juga mengajak pada para pembaca untuk terus memberikan berbagai dukungannya baik pikiran, tenaga maupun dana untuk mendukung berdirinya sekolah-sekolah alternatif yang diprakarsai oleh rakyat.

AYO GABUNG DALAM GERAKAN MENGUMPULKAN BUKU UNTUK PELAJAR-PELAJAR MISKIN

Book for The Poor, apaan sih?
Kalo ga salah terjemahaannya adalah Buku buat orang miskin kali ye,

Mungkin anda semua anda sudah ering banget nyumbang ke baksos-baksos dadakan ato acara-acara amal lainnya, terus disumbangin gitu aja kali ya? Tapi dalam program Book for the Poor bukan sekedar nyumbang, diantara anda mungkin ada yang pernah punya mimpi bikin perpustakaan sendiri dimana semua orang nanti bisa baca berjam-jam disana. Nah saatnya anda wujudkan mimpi anda, bikin perpustaaan bareng-bareng yang bisa bermanfaat untuk banyak orang miskin.

Berangkat dari keprihatinan terhadap kondisi pendidikan nasional saat ini, kami beserta beberapa pemuda tani di desa yang masih memiliki obsesi membangun bangsa yang cerdas, berinisiatif mendirikan SMP Terbuka dan Perpustakaan Rakyat. Bentuk kegitaan yang akan dijalankan selain membantu mengajar pada sekolah tersebut kami juga mengadakan kegiatan yang mendukung keberlancaran proses belajar mengajar di sekolah tersebut. Salah satu hal yang kami pikirkan adalah membuat sebuah “Perpustakaan Rakyat”.

Berbagai keterbatasan yang kami hadapi termasuk dengan namun hingga, sekarang buku yang telah kami kumpulkan baik secara swadaya anggota dirasa masih jauh dari harapan untuk memenuhi sasaran para pembaca di desa tempat kami membangun SMP Terbuka.

Kalo Perpustakaan Rakyat…………?
“Perpustakaan Rakyat” adalah Perpustakaan yang dibangun atas usaha partisipasi semua individu, untuk mengumpulkan buku yang disumbangkan secara sukarela dari setiap sukarelawan yang mau terlibat dalam gerakan sosial ini dan kelak bisa dimanfaatkan oleh semua kalangan di tempat tersebut.

Bagi kami ini adalah upaya pemberdayaan dan pencerdasan anak-anak usia sekolah di Desa-desa tertinggal , serta memberikan wawasan dan minat untuk membaca, Sebagai satu bentuk pendidikan alternatif, melalui pembuatan “Perpustakaan Rakyat”

Yang Disumbangin buku apaaan…………..?
Kriteria buku yang diterima untuk saat ini, Buku-Buku pelajaran SD-SMP, Hukum, Seni, Ensiklopedia, buku-buku yang bertema tentang Bahasa dan Sastra Indonesia; Novel,Cerpen,Hikayat,dll (Diutamakan, baru atau lama dalam kondisi yang layak baca,) dan harus dalam bahasa Indonesia ! juga buku dan sastra asing bisa diterima sepanjang tidak mengandung unsur kekerasan dan pornografi

Cara Nyumbangnya Gimana…?
Jika berminat, anda bisa menghubungi para Relawan SMP Terbuka Harapan Rakyat :
Oki Hajiansyah Wahab, Praja Wiguna,M. AgungKurniawan di
Jl. Kiwi No 56, Sidodadi Kedaton Bandar lampung 35147
Email : paman_mao@yahoo.com, smp_harapanrakyat@yahoo.co.id,smpt_moromoro@plasa.com
HP : 081927814324, Telp : 0721-7513337

Atau mengirimkanya langsung ke SMP Terbuka Harapan Rakyat
a/n Eko Widianto
Jl. Lintas Timur Desa Moro-Moro, Dusun Moro Seneng
Register 45 Sungai Buaya, Kabupaten Tulang Bawang Lampung

Kayanya Gue Tertarik Tuh Jadi Relawan, Gimana Caranya?
Wow, keren banget tuh, masih muda seneng amal, Tentunya kita sangat mengharapkan anda semua menjadi bagian dari gerakan ini, apa saja bias anda sumbangkan bisa tenaga, pikiran, Bantu cari dana dll. SMP Terbuka memang membuka seluas-luasnya bagi anda yang tertarik untuk menjadi seorang “pelayan rakyat” kalo bahasa gaulnya “Serve the People”.

Terima Kasih, Salam Hangat dari kamiCatatan : Kami sangat menghargai jika anda semua bersedia terlibat dalam usaha penyebaran informasi ini kepada berbagai pihak yang ingin membantu Gerakan Mengumpulkan Buku (GEMAKU)

SELAYANG PANDANG SMP TERBUKA HARAPAN RAKYAT

Membaca barisan-barisan kata di bawah ini, semoga bisa memberikan gambaran selintas tentang apa yang sedang kami lakukan. Ada yang harus menemani dan meneguhkan semangat mereka. Bahwasanya, masih ada harapan untuk bersekolah. Bahwasanya, masih ada jalan untuk ditempuh.
Bahwasanya, masih ada kesempatan untuk membawa tas, buku, penggaris, dan pensil..untuk cita-cita setinggi langit.

Visi
Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka “Harapan Rakyat”, dalam setiap gerak langkahnya, selalu bernafaskan visi “menjadi pelopor pendidikan bagi masyarakat yang kurang mampu di Desa Moro-moro Register 45 Sungai Buaya Tulang Bawang”.

Misi
Membuka sekolah gratis bagi siswa miskin dan golongan kurang mampu di Desa Moro-moro Register 45 Sungai Buaya Tulang Bawang
Memanfaatkan semua sarana dan potensi yang ada di masyarakat sebagai modal dasar pendidikan.
Menyelenggarakan aktivitas pendidikan formal yang setara dengan SMP Reguler namun lebih fleksibel dalam pengaturan tempat dan waktu.
Menggalang semua lapisan masyarakat untuk berperan aktif mencerdaskan generasi muda harapan bangsa.

Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka “Harapan Rakyat” yang didirikan pada tahun 2006 merupakan sebuah sekolah mandiri yang berangkat dari inisiatif masyarakat yang bekerjasama dengan sekolah-sekolah milik pemerintah yang telah ada guna mendukung terlaksananya program Wajib Belajar 9 Tahun.

Dengan, serta dengan memanfaatkan tenaga lokal di desa tersebut serta dukungan beberapa mahasiswa.SMP Terbuka “Harapan Rakyat” memiliki tenaga pendidik dan pengelola yang tentunya sangat mengerti akan permasalahan pendidikan di desanya masing-masing. Hal itu juga dikarenakan keterlibatan tokoh-tokoh masyarakat yang memiliki kredibilitas dan sensitifitas yang tidak diragukan lagi.

Program utama dari Sekolah Menengah Pertama (SMP) Terbuka “Harapan Rakyat” adalah penyelenggaraan pendidikan SMP di Desa Moro-moro Register 45 Sungai Buaya Tulang Bawang. Kedepannya SMP Terbuka “Harapan Rakyat” juga berorientasi untuk menumbuh kembangkan jiwa wirausaha di kalangan para pengelola SMP terbuka . Misalnya pelajaran tambahan seperti beternak dan pengobatan dengan tanaman obat tradisional. Dengan demikian, selain berkonsentrasi pada keberhasilan pendidikan, mereka diharapkan dapat memiliki jiwa wirausaha untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di masa mendatang.

Kurikulum
Sama dengan SMP Reguler, dengan program pembelajaran dirancang dengan tujuan minimal supervisi guru dan peningkatan kemandirian siswa. SMP Induk juga memberikan NIS (Nomor Induk Siswa) kepada siswa-siswa SMP Harapan Rakyat.

Waktu
Waktu kegiatan belajar bisa dilakukan seluwes mungkin. Pengelola SMP bisa berkoordinasi dengan guru dan siswa untuk menentukan
kapan sebaiknya waktu untuk tatap muka. Sarana-Sarana penunjang kegiatan belajar diperoleh dari penggalangan dana masyarakat sekitar atau memanfaatkan fasilitas yang telah ada (misal: papan tulis balai desa). Seluruh buku-buku paket pelajaran untuk anak didik diberikan dengan gratis

Tempat
Tempat Belajar bisa memakai sekretariat organisasi, balai desa, masjid, musholla, gereja, ruang tamu penduduk, ataupun ruang kelas SMP Induk. Lokasi dipilih sedekat mungkin dengan domisili para siswa.

Organisasi
Pendiri Persatuan Petani Miskin Way Serdang (PPMWS)
Penanggung Jawab M.Riyanto (Ketua PPMWS)
Penasehat D. Carlo Purba (YABIMA Metro)
Tisnanta, M.Si (Dosen UNILA)
S. Indri.S.Sos, M.Si (Dosen UNILA)
Miko Peryando (FMN Cabang Bandar lampung)

Ketua Pelaksan harian Budianto
Bendahara Sariyadi

Guru Tetap Ida , Eko Widyanto
Relawan Eko Budhi Santoso
Risman Sidahurup SH
Muhamad Tohir SH
Umi Laila S.Pd
M. Agung Kurniawan

Bid. Kampanye Oki Hajiansyah Wahab
Fund Rising Mbah Mul, Marianus Sidabutar

Sekretariat dan Kontak
Sekretariat PPMWS :
Jl. Lintas Timur ,Desa Moro-Moro, Register 45 Sungai Buaya, Kecanatan Way Serdang, Kabupaten Tulang Bawang

Kontak Person :
Oki (081927814324), Maryanto (081369273120),
Budiyono (085269300932), Eko (085669654599)

Penutup
Dalam perkembangannya, SMP Terbuka Harapan Rakyat akan terus menjalin kerjasama yang saling menguntungkan dengan pihak-pihak yang peduli terhadap dunia pendidikan maupun pemberdayaan sosial ekonomi masyarakat desa.

Lonceng sekolah telah berbunyi, tanda sekolah telah usai. Demikian pula sekelumit gambaran tentang Sekolah Rakyat ini. Demikian pula akhir lembaran-lembaran ini adalah sedikit bekal bagi Anda untuk mengenal selayang pandang SMP TERBUKA ‘HARAPAN RAKYAT”.

Seusai barisan-barisan kata ini Anda baca, kami berharap kita bisa bersama-sama menarik gerbong pendidikan Indonesia ke arah yang lebih baik.
Semoga saja.